Reksa Dana -Panjang Lebar

May 29, 2016 0 Comments A+ a-

Reksadana Syariah apakah benar2x sesuai syariah ?


Yang peduli akan syariah dan ngak, yang peduli tentang halal dan haram mohon diskusinya.

Saya sudah ikut reksadana syariah dan akhirnya keluar karena sepertinya tidak memenuhi syariah. Sekarang coba anda cek daftar DES (Daftar Efek Syariah) trus anda cari di bapepam, reksadana syariah dgn portofolionya. Hampir semuanya masih mempunyai saham2x diluar DES.

Mungkin yang ikut reksadana dan main saham langsung bisa baca link berikut dari salah satu forum di yahoogroups.

Mengapa Jual-Beli Saham itu Haram

Posted by: "A Nizami" nizaminz@yahoo.com nizaminz

Sun Sep 2, 2007 10:59 pm (PST)

Mengapa Jual-Beli Saham itu Haram



Assalamu'alaikum wr wb,



Sesungguhnya Pasar Modal itu halal jika bertujuan untuk mempertemukan
antara pengusaha yang memerlukan modal dengan investor yang kelebihan
uang, sehingga sektor real bisa bangkit. Dengan cara ini, maka produksi,
baik barang maupun jasa bisa meningkat untukk memenuhi kebutuhan
masyarakat, serta membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal seperti
itu halal, dengan catatan tidak ada gharar (penipuan) atau riba yang
mengurangi hak dan merugikan investor.



Setelah itu, perusahaan berjalan dengan suntikan modal investor.
Sesungguhnya kerjasama seperti ini (Mudlorobah atau Musyarokah) yang
kalau di zaman modern mungkin disebut dengan join venture sudah dikenal
dan dihalalkan dalam Islam selama tidak ada tipu-menipu.



Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:



"Saya adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah
satu pihak tidak mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati
kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua itu."

(Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya) Ibnu Razin dalam kitab
Jami'nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).



"Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa."

(al-Maidah: 3)



Sebagian ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham
(Stock Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram
karena termasuk spekulasi atau judi.



Manakah yang benar? Sebagai ummat Islam, jika ada perbedaan seperti itu,
hendaklah kita kembali berpegang pada Al Qur'an dan Hadits



"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [An Nisaa:59]



Kita memang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar, tapi
sesungguhnya Al Qur'an itu tidak ada keraguan bagi orang yang takwa
serta mentaati Nabi itu adalah perintah dari Al Qur'an. Al Qur'an
dikenal juga sebagai Al Furqon, yang membedakan mana yang haq dengan
yang bathil. Untuk itu, kita harus berpedoman pada Al Qur'an dan Hadits,
bukan cuma berdasarkan pendapat kita sendiri.



Ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama
dengan jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini kurang
tepat.



Saham itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau
menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja
meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang

diperjual-belikan:



Menurut jabir; "Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum
ia masak." (Hadis riwayat Bukhari).



Anas juga menyatakan, "Rasulullah s.a.w. melarang Munabazah yaitu
menjual pakaian dengan melemparkan kepada pelanggan sebelum dia
mempunyai masa untuk meneliti atau melihatnya; Beliau juga melarang
Mulamasah, menjual pakaian dengan hanya menyentuhnya sebelum pembeli
sempat melihatnya; Beliau juga melarang Muhaqilah yang berupa amalan
menjual jagung yang masih melekat pada empulurnya untuk ditukarkan
dengan jagung bersih; malah beliau melarang Mukhadarah yang berupa
jualan benda-benda yang hijau atau belum masak; dan Beliau juga melarang
Muzabanah yang berupa penjualan kurma yang segar (sudah diproses) dan
penjualan buah-buahan yang belum masak yang masih di atas pokok." (Hadis
riwayat Bukhari)



"Dari Jabir bin Abdullah ra katanya: Rasulullah SAW melarang kontrak
jual beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya" (HR Muslim).



Kenapa Nabi melarang hal itu? Karena itu itu tindakan spekulatif, walau
pun buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika
tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. Begitu pula dengan saham.



Nabi melarang jual-beli tanpa si penjual memberi kesempatan bagi si
pembeli untuk meneliti barang yang dibelinya, misalnya hanya memegang
tanpa melihat, atau langsung dilempar begitu saja. Boleh dikata, hampir
semua pembeli di bursa saham membeli saham tanpa pernah pergi ke
perusahaannya dan melihat assetnya apakah benar sesuai dengan laporan
keuangan atau tidak.



Ada yang berpendapat jual-beli saham halal karena dalam hal muamalah
sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hadits Nabi,
kita mengetahui bahwa berserikat membentuk perusahaan antara pengusaha
dan investor itu sudah ada di zaman Nabi dan dibolehkan. Pada zaman
Nabi, tidak ada investor yang memperjual-belikan sahamnya, oleh karena
itu tidak ada "larangan" untuk jual-beli saham. Tapi adakah itu berarti
jual-beli saham halal?



Sesungguhnya kita tidak akan menemui larangan memakai narkoba atau
bermain poker di Al Qur'an dan Hadits, tapi itu tidak berarti bahwa
memakai narkoba atau bermain poker itu halal.



"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.

Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya" . Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir," [Al Baqoroh:219]



Narkoba digolongkan ulama sebagai khamar karena membuat mabuk dan
pikiran tidak berfungsi sementara poker digolongkan sebagai judi, karena
pada saat ada yang menang, ada pula yang kalah atau menderita. Dari ayat
Al Qur'an di atas juga jelas bahwa ada pertimbangan antara manfaat
dengan mudlorot atau kerusakan yang bisa ditimbulkan. Jika lebih banyak
mudlorotnya ketimbang manfaat, jangankan jual-beli saham, ibadah Haji
yang termasuk wajib pun jika keadaan sangat berbahaya dan bisa
menimbulkan kematian (misalnya perang besar di daerah itu), bisa gugur
hukumnya.



Kenapa jual-beli barang biasa misalnya kebutuhan pokok seperti beras,
ikan, atau pakaian halal meski spekulasi bisa terjadi (walau sedikit dan
ini juga dilarang dalam Islam) halal, sementara jual-beli saham haram?
Karena manfaat yang pertama lebih besar ketimbang bahayanya. Tanpa
jual-beli seperti beras, kehidupan tidak akan berjalan. Rakyat tidak
bisa makan kecuali dia menanam atau membuat sendiri. Tapi tanpa
jual-beli saham, orang tetap bisa hidup tanpa ada gangguan sedikitpun.
Bahkan hal itu lebih bermanfaat, karena dia bisa mengerjakan sesuatu
yang real.



Charlie Sheen yang berperan sebagai Bud Fox, pialang saham muda yang
mengagumi Gordon Gekko (master pemain saham yang licik), dinasehati
ayahnya (Martin Sheen) di dalam film Wall Street agar berusaha/bekerja
dengan tangannya untuk menghasilkan produk yang nyata, ketimbang bermain
saham yang tak menghasilkan apa-apa kecuali uang dari orang lain.

Dalam satu hadits, Nabi juga berkata bahwa sesungguhnya Allah mencintai
orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Bukan orang yang cuma
duduk-duduk saja membeli saham sambil berharap suatu saat dapat capital
gain.



"Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri."
(HR. Bukhari) "Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih
baik daripada memakan hasil keringatnya sendiri"

(HR Baihaqi) 



Bahkan Rasulullah pernah mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz ra tatkala
beliau melihat bekas kerja pada tangan Mu'adz. Seraya beliau bersabda:
"(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta'ala"



Jual-beli saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin
semua orang akan senang. Tapi jika grafiknya lurus horisontal, maka jika
fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi.
Jika ada yang menang, maka ada yang harus menderita. Tidak mungkin semua
mendapat kemenangan.

Misalnya untuk untung, kita harus beli di harga rendah dan menjualnya di
harga tinggi, misalnya kita beli harga saham di harga Rp 1000 dan
menjualnya di harga Rp 2000. Agar bisa terjadi seperi itu, tentu ada
yang harus membeli di harga tinggi (Rp 2000) dan menjualnya di harga
rendah (Rp 1000). Kita mungkin menang, tapi yang lainnya rugi.



Pada kondisi trend grafik menurun, lebih parah lagi.

Ada yang rugi sedikit, ada pula yang rugi besar hingga harus menjual
rumah atau kehilangan milyaran rupiah.

Contoh terakhir adalah kasus bunuh dirinya seorang pemain saham yang
kalah, sehingga uang nasabahnya sebesar Rp 500 milyar lenyap begitu
saja. Saya juga mengamati, dari transaksi jual-beli saham antara tahun
2002-2003, ada sekuritas yang transaksinya merugi hingga Rp 150 milyar,
ada pula yang menang hingga Rp 300 milyar. Kemenangan satu pemain saham
umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.



"Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran

(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu)." [Al Maa-idah:91]



Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan
penjual:



"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara
kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan
adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)



Kerelaan di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau
dirugikan. Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur
menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu
haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham
terutama ketika grafik rata atau menurun.



Dengan jual-beli saham, berapa banyak pemain saham yang dianggap master
dan dikagumi juniornya akhir menderita kekalahan dan bahkan ada yang
akhirnya bunuh diri. Seorang pemain saham, bahkan bisa melotot memonitor
pergerakan harga saham sepanjang hari agar tidak kehilangan kesempatan
menarik keuntungan jika seandainya harga saham turun atau naik. Pernah
ada kejadian seorang nasabah yang ingin memukul broker-nya dengan palu
karena rugi. Saya ragu jika itu sesuai dengan syariah...



Ada yang berpendapat, jika berusaha di sektor real juga kita bisa rugi.
Itu benar, tapi kenyataan menunjukkan bahwa hal itu adalah halal, dan
kenyataannya, lebih dari 70% para pengusaha itu berhasil. Jika
seandainya rugi, maka prosesnya tidak secepat pada saham. Seorang
pengusaha dengan modal 1 milyar, paling-paling dia bangkrut setelah 1-2
tahun beroperasi. Tapi dalam bermain saham, sama halnya dengan judi,
uang sebesar itu bisa lenyap dalam semalam atau sebulan saja. Misalnya
dia membeli saham A di harga 1 milyar, kemudian sebulan dia jual Rp 500
juta. Kemudian dia beli saham B, sebulan kemudian karena harganya turun
terpaksa dia jual Rp 100 juta.

Kerugian terjadi begitu cepat, apalagi jika saham yang dibeli nilainya
jadi 0. Jika pada sektor real seorang pengusaha yang jatuh akhirnya bisa
belajar dan akhirnya sukses, pada saham proses begitu cepat dan bisa
menimbulkan kecanduan seperti judi.



"...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. " [Al
Hasyr:7]



Jual-beli saham itu haram karena melanggar perintah Allah pada surat Al
Hasyr ayat 7. Pada Mudlorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan
modal bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika
jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu
akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain,
sehingga sektor real justru tidak bisa berkembang karena kekurangan
dana.



Contohnya, di Bursa saham transaksi jual-beli saham mencapai antara Rp
200 milyar hingga Rp 1 trilyun PER HARI. Uang tersebut tidak bermanfaat
apa-apa karena hanya beredar di antara orang-orang kaya (pemilik

uang) saja. Padahal jika uang itu diinvestasikan untuk membuka
perusahaan baru, paling tidak 200 perusahaan bisa berdiri. Misalkan kita
mengimpor kedelai sebesar Rp 3 trilyun per tahun dari AS, bisa jadi
dengan uang di atas, kita bisa menggerakan sektor pertanian, sehingga
ratusan ribu petani bisa bekerja dan memberi nafkah bagi jutaan anggota
keluarganya, rakyat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan negara bisa
menghemat devisa sebesar Rp 3 trilyun per tahunnya.

Tapi jika kita menganggap jual-beli saham itu halal meski bertentangan
dengan ayat Al Hasyr ayat 7, maka uang sebesar Rp 200 milyar hingga Rp 1
trilyun itu tidak berarti apa-apa kecuali beredar di antara sesama
spekulator saham. Ekonomi bisa mandek...



Jual-beli saham juga bertentangan dengan konsep Syarikat Islam. Dalam
konsep Syarikat Islam, orang-orang yang bekerjasama membentuk
perusahaan, baik pengusaha atau pun investor saling mengenal dan terikat
kontrak yang jelas. Konsepnya mungkin hampir mirip pada perusahaan join
venture modern.



"Dari Saib Al Makhzumi ra: Dia adalah syarikat (partner bisnis)
Rasulullah SAW ketika belum menjadi Rasul. Setelah peristiwa Fathu
Mekkah, Nabi berkata:

"Selamat datang saudaraku dan syarikatku" (HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan
Ibnu Majah)



Begitulah konsep persekutuan bisnis dalam Islam.

Sesama partner saling mengenal. Kalau dalam jual-beli saham, para
partner bisnis mayoritas majhul atau tidak dikenal. Saking liquid-nya,
pemegang saham satu perusahaan bisa berubah-rubah baik jumlah mau pun
orangnya. Seorang Liem Sioe Liong atau James Riady (pemilik perusahaan
yang asli), boleh dikata tidak mengenal para investor yang membeli
saham-nya lewat Bursa Saham di pasar sekunder. Mana yang lebih baik,
sistem Islam atau sistem Kapitalis?



Ada yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat.

Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di
pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?



Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya
langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di
pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham
yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan
spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik
uang seperti yang disebut di atas.



Niat seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja
dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk
berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap
melaksanakannya, sungguh dia telah tolong-menolong dalam kemaksiatan
seperti yang disebut dalam Al Qur'an.



Ada juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam
yang tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang
ahli serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang
yang tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago
halal untuk berjudi.

Islam tidak diskriminatif seperti itu...



Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: "Akan datang suatu masa di
mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal
atau dari yang haram" (HR Bukhari)



Mungkin ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham itu perlu agar
investor yang cuma punya saham bisa mendapatkan uang dengan menjualnya
jika ada keperluan yang mendesak.



Sesungguhnya dari ayat dan hadits di atas jelas bahwa jual-beli saham
banyak mudlorotnya dan dilarang oleh agama. Jika investor itu memang
butuh uang, maka dia bisa menarik modalnya dari syarikatnya jika uangnya
memang ada. Tapi jika uangnya tidak ada, maka dia bisa berhutang, sebab
berhutang itu selama tidak ada ribanya dihalalkan oleh agama. Ada
baiknya Pasar Modal Syariah bekerjasama dengan Bank Syariah untuk
meminjamkan uang bagi investor yang kepepet. Dan ada baiknya para
investor untuk tidak menginvestasikan seluruh uang yang dimilikinya,
serta menabung sebagian uangnya di Bank Syariah, sehingga tidak sampai
melakukan jual-beli saham.



Jual-beli saham terjadi selain karena emitennya

performance- nya kurang baik, mungkin juga disebabkan adanya kecurangan
dari emiten sehingga para investor tidak bisa mendapatkan keuntungan
yang layak, kecuali dari capital gain lewat jual-beli saham di pasar
sekunder. Bayangkan, ada satu perusahaan besar dengan banyak produk yang
dipakai luas di masyarakat, tapi hanya memberikan deviden sebesar 2,3%
saja per tahun dari nilai pasar yang ada jika kita membelinya. Itu
berarti jika kita membeli saham itu, maka pokok modal kita akan kembali
setelah lebih dari 40 tahun! Padahal Direksinya bergaji puluhan juta
rupiah per bulan, demikian pula pemilik perusahaan tersebut.



Hal itu persis ayat seperti ini, jika untuk kepentingannya sendiri, maka
emiten ingin mendapat keuntungan/gaji yang besar. Tapi jika untuk
investornya, dia beri hasil yang sedikit:



"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar
kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka
itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka
akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu
suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru
sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Menimbang : 
a. Bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal.
b. Bahwa pasar modal berdasarkan prinsip syariah telah dikembangkan di berbagai negara.
c. Bahwa umat Islam Indonesia memerlukan Pasar Modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip Syariah.
d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Mengingat : 
• Firman Allah, antara lain: ...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... (QS. al-Baqarah [2]: 275)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah [2]: 278-279).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] : 29)
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah (QS. Al-Jumu’ah [62] : 10)
Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...(QS. Al-Ma’idah [5]: 1)
• Hadis Nabi s.a.w antara lain:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).
“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Hukaim bin Hizam).
“Tidak halal (memberikan) pinjaman dan penjualan, tidak halal (menetapkan) dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan sesuatu yang tidak ditanggung resikonya, dan tidak halal (melakukan) penjualan sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya).
“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
“Rasulullah s.a.w melarang (untuk) melakukan penawaran palsu” (Muttafaq ‘alaih).
“Nabi SAW melarang pembelian ganda pada satu transaksi pembelian” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).
“Tidak boleh menjual sesuatu hingga kamu memilikinya” (HR. Baihaqi dari Hukaim bin Hizam).
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Al-Tirmidzi dari Amr bin Auf)
“Allah swt berfiman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.’ (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah).
“Dari Ma’mar bin Abdullah, dari Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah melakukan ikhtikar (penimbunan/monopoli) kecuali orang yang bersalah” (HR. Muslim).
• Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.”.
“Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas milik orang lain tanpa seizinnya”

Memperhatikan : 
1. Pendapat Ulama, antara lain:
a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juz 5/173 [Beirutar al Fikr, tanpa tahun]: Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain. 
b. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu juz 3/1841: Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya. 
c. Pendapat para ulama yang menyatakan kbolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Muskilatuna al-Hadhirah, [t.t : Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h.58). Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999]). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan: (Jenis kedua) adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Bermusahamah (saling bersaham) dan bersyarikah (kongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan
sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan. 
d. Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi). Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab IX/265 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu IV/881.
e. Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah: Boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan 
2. Keputusan dan Rekomendasi Lokakarya Alim Ulama tentang Reksa Dana Syariah tanggal 24-25 Rabiul Awwal 1417H/29-30 Juli 1997M.
3. Undang-Undang RI no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal.
4. SK DSN-MUI no. 01 Tahun 2001 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional.
5. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan Bapepam tanggal 14 Maret 2003 M / 11 Muharram 1424 H dan Pernyataan bersama Bapepam, APEI, dan SRO tanggal 14 Maret 2003 tentang kerjasama pengembangan dan implementasi prinsip syariah di pasar modal Indonesia.
6. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO tanggal 10 Juli 2003 M / 10 Jumadil Awwal 1424 H tentang Kerjasama Pengembangan dan Implementasi Prinsip Syariah di Pasar Modal Indonesia.
7. Workshop Pasar Modal Syariah di Jakarta pada 14-15 Maret 2003 M / 11 - 12 Muharram 1424 H.
8. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Sabtu, tanggal 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M.
Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
2. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.
3. Efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.
4. Shariah Compliance Officer (SCO) adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di Pasar Modal.
5. Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu efek syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.
6. Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.
BAB II
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL
PASAL 2
Pasar Modal
1. Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memnuhi prinsip-prinsip syariah.
2. Suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.

BAB III
EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH
Pasal 3
Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik
1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
2. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:
a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
b. Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
c. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;
d. Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
e. Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
3. Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas efek syariah yang dikeluarkan.
4. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah dan memiliki syariah compliance officer.
5. Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai efek syariah.
BAB IV
KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH
Pasal 4
Jenis Efek Syariah
1. Efek syariah mencakup saham syariah, obligasi syariah, reksa dana syariah, kontrak investasi kolektif efek baragun aset (KIKEBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
2. Saham syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.
3. Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
4. Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harga (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan penggunaan investasi.
5. Efek beragun aset syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA syariah yang berportofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
6. Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
BAB V
TRANSAKSI EFEK
Pasal 5
Transaksi Yang Dilarang
1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.
2. Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:
a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu.
b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);
c. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam bentuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;
d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;
e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut; dan
f. Ikhtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain;
g. Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.
Pasal 6
Harga Pasar Wajar
Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.
BAB VI
PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 7
Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan pihak lain dalam rangka penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
1. Prinsip-prinsip syariah mengenai pasar modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum di atur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
Sekretaris,






K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin